Mencari Solusi Sampah Plastik bagi Nelayan Papagarang
Sumber: Media Indonesia
CECERAN sampah plastik bukanlah pemandangan asing di perairan Pulau Papagarang, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun sampah tersebut tampak bukan dari limbah domestik warga pulau karena jenisnya yang seragam, yakni, plastik bening berukuran 700ml.
Nyatanya plastik tersebut memang bukan berasal dari pulau melainkan dari kapal-kapal nelayan. Plastik itu merupakan pembungkus es yang digunakan untuk mengawetkan ikan tangkapan. Saat es digunakan, nelayan dengan begitu saja membuang plastik ke perairan. Kebiasan yang telah berlangsung lama ini telah menyebabkan pencemaran sampah laut yang tidak sepele. Apalagi, sama seperti perairan lain di dunia, perairan pulau tersebut sudah dibebani sampah anorganik dari pulau.
Cemaran sampah plastik ini rupanya terkait dengan kendala produksi es, bukan saja es biasa melainkan juga es balok di Pulau Papagarang. Akibatnya nelayan harus memberli es ke Labuan Bajo yang berjarak 1,5 jam dengan perjalanan kapal. Namun es yang ada di ibu kota Kabupaten Manggarai Barat itupun hanya produksi rumahan yang dikemas menggunakan plastik tadi.
Permasalahan usaha perikanan inilah yang dikut dibahas dalam Forum Solusi Listrik Desa (Solid) di Jakarta, Senin (10/12). Untuk membuat usaha perikanan yang lebih hemat energi dan minim limbah plastik itu Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EBTKE-ESDM) dan German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ) berkerjasama di bawah program Electrification through Renewable Energy (ELREN).
Program tersebut juga melibatkan Tinamitra Mandiri yang berperan sebagai penyuplai air untuk bahan es balok. Dalam forum di Jakarta itu Pendiri Tinamitra Mandiri, Shana Fatina, menjelaskan penyulingan air di pulau tersebut telah berjalan sejak 2010. Setiap harinya produksi air suling mencapai lebih dari 1.135 liter. Shana menjelaskan usaha penyulingan air berangkat dari mahalnya harga air bersih di Pulau Papagarang. Sebelumnya, harga air bersih di Pulau Papagarang Rp 15.000/19 liter, sedangkan es batu dijual seharga Rp 2.800/kg. Harga itu jauh dari harga air bersih dan es batu di Pasar Ikan Labuan Bajo yakni air bersih Rp 7.000/19 liter dan es batu Rp 1.400/kg.
“Kami mengusahakan harga air bersih hasil sulingan itu sama dengan harga di Labuan Bajo,” jelas Shana.
Tenaga Surya
Rencananya, fasilitas produksi es batu akan menggunakan tenaga surya. Solar-Powered Ice Machine tersebut akan dibangun pada 2019 yang diimplementasikan oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH.
Mesin ini akan bekerja berdasarkan Sistem Fotovoltaik (PV) yang mengaplikasi panel surya. Mesin es batu membutuhkan daya sekitar 100 kWh. Diharapakan mesin itu sanggup memproduksi 1 ton es batu per hari. Selain itu mesin itu bisa menghemat biaya 30% dibandingkan dengan mesin diesel.
Program kerjasama ini juga telah memperhitungkan masalah klasik dalam operasional mesin pendingin, yakni pada baterai. Banyak mesin diantaranya yang mangkrak akibat kerusakan baterai. Untuk itulah mesin itu didesain untuk sedikit mungkin menggunakan baterai, sedangkan listrik diproduksi langsung dari panel.
“Untuk menghindari hal itu kita seminimal mungkin menggunakan baterainya hanya untuk menjaga pompa dan kompresor,” terang konsultan ahli pada progra, Elren, Frank Stegmueller.
Solar-Powered Ice Machine yang sedang dikembangkan ini juga menggunakan konsep thermal energy storage, smart software , dan natural refrigerant. Semua konsep itu ditujukan agar mesin bisa bertahan lebih lama dan mengatasi kelemahan sistem solar yang selama ini lazim terjadi.
“Makanya ini disebut intelegent machine, jadi mesin itu mengatur sendiri,” terang Frank.
Meski sistem tenaga surya menjadi solusi utama listrik perdesaan, tidak menutup kemungkinan untuk digunakan energi terbaru terbarukan dari sumber lain.
“Renewable energi bisa dikembangkan bukan hanya matahari, di pegunungan bisa menggunakan hidro, atau angin, biomassa. Potensinya sangat besar di Indonesia dan bisa menjadi cerita sukses sendiri,” ucap Director of Energy Programme Indonesia/ASEAN for Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Rudolf Rauch.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Indonesia mempunyai 17.508 pulau, sebanyak 16.056 pulau yang sudah didaftarkan ke PBB pada 2017.
Selama ini kendala terbesar dalam pembangunan infrastruktur bidang energi adalah besarnya biaya karena kondisi geografis kepulauan kita.
“Kalau masyarakat bisa berswadaya ke depan dan kita kembangkan ekonomi dengan meningkatkan akses energi tadi, maka diharapakan mereka punya kemampuan membayar energi di daerah tersebut,” kata Direktur Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Adrian Febi Misna.
Analis dan Pendayagunaan Pesisir dan Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Rido MS Batubara, mengungkapkan bahwa energi lokal di pulau-pulau kecil itu sebenarnya tersedia melimpah. Sebab itu EBTKE memang cocok untuk wilayah tersebut. (M-1)
[Sassy_Social_Share]